Samudji, Seorang pengrajin sekaligus pengepul biting bambu Desa Sriti, Kecamatan Sawoo
Bambu
dipotong kecil-kecil hingga tertata
rapi dalam sebuah ikatan tali, orang sering menyebutnya Biting. Di Kecamatan Sawoo, hampir setiap rumah di Desa Temon, Sriti, Tempuran dan Tumpakpelem banyak warganya
memanfaatkan waktunya untuk membuat biting. Rupanya pembuatan Biting ini dijadikan
sebagai usaha sampingan mereka.
Penasaran
Biting itu dibuat untuk apa? Berikut liputan selengkapnya.
Sebuah perjalanan di Kecamatan
Sawoo, langkah kaki terhenti di Desa Sriti, pandangan mata tertuju pada
kesibukan orang dengan tumpukan bambu yang dipotong kecil-kecil. Dibalik
kedamaian Desa Sriti tersimpan banyak tangan-tangan kreatif yang memanfaatkan
sumber daya alam yang ada. Tidak hanya di Desa Sriti, rupanya Desa Temon, Tempuran dan juga Tumpakpelem juga bergelut dalam bidang
yang sama yaitu pembuatan biting bambu.
Sepotong bambu bisa dijadikan
buah karya. Tampaknya, tidak sulit membuatnya tapi siapa sangka, potongan bambu
ini bernilai jual tinggi dan banyak orang yang membutuhkannya bahkan banyak
yang memesanan secara kontinyu. Rupanya kreatif, terampil
menjadi solusi alternatif penopang ekonomi mereka. Dibalik tuntutan ekonomi
dengan harga yang terus membumbung tinggi bukan alasan untuk berhenti berkarya.
Pembuatan Biting ini salah
satunya dilakoni oleh Samudji bersama dengan istrinya Suprihatin. Samuji adalah
salah satu diantara puluhan bahkan ratusan warga lainnya yang membuat biting. “Warga Desa Temon,
Sriti, Tempuran, Tumpakpelem hampir setiap
rumah membuat biting,”katanya
Selain menjadi pengrajin Samudji juga menjadi pengepul dengan menampung hasil pembuatan biting dari warga setempat.“Saya
sudah bertahun-tahun menggeluti usaha ini. Warga disini menjadikan usaha ini sebagai usaha sampingan, rata-rata mereka adalah petani,” terangnya sembari memperlihatkan usaha bitingnya.
Usaha pembuatan biting sudah
dilakoninya selama bertahun-tahun. Menurutnya, satu buah bambu setelah di potong-potong bisa menjadi 15 kg-25 kg biting dan dalam sehari Samudji
mampu membuat dan mengumpulkan hingga 1 kwintal bahkan 1 ton. “1 kwintal
hingga 1 ton perharinya tapi juga tidak pasti karena prosesnya banyak,” urainya menjelaskan proses pembuatannya yang rumit.
Menelisik lebih jauh pembuatan
Biting
Melihat langsung pembuatan
Biting, rupanya tidak sulit namun tetap saja perlu ketlatenan dan ada
ukuran-ukuran tertentu yang harus sesuai. Pembuatan Biting bermula dari
bambu (Pring Ori) yang dipotong-potong. Bambu dibilah menjadi beberapa
bagian dan dikelupas kulit bagian luar dan bagian dalamnya, dikeringkan, dipotong sesuai dengan ukuran dan
dihaluskan. “Ada patokan ukuran panjangnya yaitu 22 cm, 28cm, 32cm dan 38cm,” lanjutnya menjelaskan.
Potongan bambu yang sudah
menjadi biting dinilai harganya berdasarkan beratnya ditimbang. Dengan harga
per kilogram senilai Rp. 22.000 – Rp. 27.000. “Harga perkilo kisaran 22 ribu dari pembuat dan dijual ke pengepul besar seharga 27ribu,”terangnya.
Samudji menjualnya ke pengepul
besar lagi, Ia mengaku mengirimkannya ke Trenggalek. Biting yang sudah jadi ini
sesampai di Trenggalek masih diolah lagi, ditaburi obat-obat yang bisa membuat
biting itu bisa menyala tersulut api. “Saya mengirimkan biting-biting ini ke Trenggalek
dan di Trenggalek masih diolah lagi ditaburi obat,” ungkapnya .
Seusai Biting dikirim ke Trenggalek,
rupanya biting-biting itu masih dikirim lagi ke Bali, Lumajang dan Malang untuk
dijadikan DUPA “Biting-biting itu nanti dijadikan DUPA, sebagai alat
peribadatan bagi orang Hindu dan Bhuda. Dan tak heran dalam peringatan
galungan, Samudji seringkali kekurangan stok” terangnya mengakhiri perbincangan.